Senin, 28 Maret 2022

Proses Menulis Hingga Memiliki Buku Karya Sendiri




Beberapa teman mengatakan kalau sebenarnya saya itu salah ambil jurusan waktu kuliah. Seharunya saya ambil jurusan sastra, bukan matematika. Kenapa? Ya, karena hobi saya menulis. 


Well, saya akan membagikan sedikit pengalaman saya tentang kepenulisan. Dalam kepenulisan sebenarnya saya masih amatir, tetapi saya bercita-cita menjadi seorang penulis hebat dan sukses. Aamiin..


Ya,  seperti yang saya tuliskan sebelumnya, kalau basic saya sebenarnya matematika, jadi kalau dalam kepenulisan saya masih pemula, tetapi alhamdulillah saya sudah menulis 6 buku solo. 4 buku kumpulan cerpen dan 2 buku novel. Kemudian 1 lagi buku kumpulan puisi yang saya tulis bersama teman-teman komunitas, dan ada beberapa antologi hasil lomba menulis. Sekarang saya sementara menggarap novel terbaru saya, alhamdulillah sudah ada dalam tahap proofreading dan editing.


Awal menulis, saya menulis non-fiksi berupa naskah pidato, ceramah, dan makalah ilmiah. Itu hanya untuk keperluan lomba. Dapat juara? Alhamdulillah pernah. 


Untuk menulis fiksi sebenarnya hanya iseng-iseng saja mengisi kebosanan hingga keisengan itu akhirnya menjadi sebuah hobi. Setiap ada ide pasti saya tulis, TIDAK PERDULI TULISAN ITU BAGUS ATAU JELEK, BENAR ATAU SALAH. Saya terus menuliskan setiap ada ide yang datang menghampiri, saya TULIS APA ADANYA. Toh yang baca saya sendiri. Ya, waktu itu saya belum percaya diri mempublikasikan tulisan-tulisan itu dan memang tujuannya hanya konsumsi pribadi saja. Tak pernah terpikirkan suatu hari menjadikannya sebuah buku.


Suatu hari saya melihat pengumuman lomba menulis cerpen di kampus yang diadakan oleh fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia, saya pun mencoba ikut. Waktu itu teman saya sempat menertawakan karena tidak percaya kalau saya bisa menulis cerpen, tetapi saya tetap mengirimkan tulisan itu ke panitia lomba dan saya tidak menyangka kalau ternyata cerpen saya juara 2. Dari situ saya mulai percaya diri ternyata saya juga bisa menulis  dan alhamdulillah lagi cerpen saya bisa mengalahkan anak-anak sastra. Saya semakin semangat menulis.


Dan saya pun akhirnya memiliki mimpi suatu hari bisa menerbitkan karya saya sendiri.


Setelah diwisudah, saya pun akhirnya harus pulang kampung. Saya sempat merasa sedih bahkan sampai menangis. Saya pikir saya tidak akan bisa mewujudkan impian saya itu. Ya, secara pulang kampung di desa kecil nan terpencil plus tidak ada jaringan telepon, apa lagi internet. Bagaimana mungkin saya mewujudkannya? Sungguh itu mustahil. Ya, itu yang saya pikirkan waktu itu.


Ternyata ketika di kampung. Saya ditawari ikut lomba menulis makalah ilmiah mewakili kecamatan dan tanpa ragu saya menerima tawaran itu. Alhamdulillah dapat juara, meski hanya harapan 1.


Saya terus menulis, baik itu tulisan fiksi atau pun non-fiksi. Ya, saya tidak memilih-milih dalam menulis. Pokoknya tulis apa pun yang hinggap di kepala.


Lalu tulisan-tulisan berupa cerpen saya kumpul menjadi satu dan saya kirimkan ke penerbit. Tahun 2016 buku kumpulan cerpen saya yang pertama berjudul Menanti Senja di Pantai Losari akhirnya terbit. Ya meski pun ternyata masih banyak kesalahan-kesalahan penulisan di dalamnya karena memang saya hanya menulis secara otodidak. Kalau saya kembali membaca tulisan saya itu, jujur saya merasa malu sendiri. 


Di tahun yang sama saya mengenal penerbit MM yang sekarang  Mudilan Med, saya pun menerbitkan buku kumpulan cerpen kedua saya yang berjudul Cinta yang Terlupakan. Lalu kembali saya menerbitkan buku kumpulan cerpen saya yang berjudul Tentang Sebuah Tragedi di penerbit J-Maestro.


Tahun berikutnya, buku saya terbit lagi di Mudilan Med,  buku kumpulan cerpen Suatu Hari Bersama Yuan. 


Sembari menulis cerpen saya juga menggarap sebuah novel. Naskah novel yang pertama itu, saya coba mengirimkannya ke salah satu penerbit mayor dan ternyata tidak lolos seleksi alias ditolak. Hehehe...  Saya kembali merevisi naskah itu. Saya pun mulai ikut kelas-kelas menulis online baik yang free atau pun berbayar, selain itu memperbanyak membaca buku tentang kepenulisan dan juga novel, selain itu saya bergabung di grup-grup kepenulisan di fb atau pun grup WA. Hingga saya bersama seorang teman  mendirikan komunitas menulis di daerah kami dan dari komunitas itu saya beserta teman-teman menulis kumpulan puisi, lalu menerbitkannya di penerbit Mudilan Med. 


Ya, setiap tahun saya selalu berusaha minimal ada satu buku karya saya yang terbit. 


Terus berkarya tanpa henti, teruslah menulis untuk meninggalkan jejak di dunia ini dalam artian biarkan karya-karya itu membuktikan bahwa dirimu pernah ada di dunia ini.


Itulah perjalanan menulis saya. Ya, tidak ada yang instan di dunia ini, bahkan mie instan saja masih butuh proses agar bisa dikonsumsi. Hehhehe... Apatah lagi untuk sebuah kesuksesan. Benar apa betul?


Teruslah berproses hingga kau menggapai kesuksesan yang kau impikan. Jangan takut gagal karena kegagalan adalah salah satu proses untuk meraih kesuksesan.



 Semoga bermanfaat.


Terima kasih.


Tolitoli, 28 Maret 2022

Jumat, 04 Maret 2022

Jejak Sejarah di Kota Berru

Jejak Sejarah di Kota Berru

Oleh: Marhani Kani


Kembali rombongan kami bertandang ke kota Berru atau Barru, kampung halaman ibu saya. Malam sebelumnya juga kami ke Barru tepatnya di Palandro dan kali ini kami di Mattoanging.

Kali ini kami mengunjungi rumah keturunan raja Barru, rumah keluarga bapak bupati Tolitoli Amran H. Yahya. Kedatangan rombongan kami disambut hangat oleh tuan rumah.


Rumah panggung bergaya khas Bugis itu tampak indah, di anak tangganya dijejer beberapa pot tanaman hias yang beraneka ragam menambah keindahan rumah itu. Saat masuk di rumah, di dalam rupanya sudah tersedia hidangan makan malam dan beberapa bosara' yang berisi kue khas Bugis, ada burongko, kue sikaporo', saya tak tahu apa lagi.


Setelah bapak bupati duduk, tuan rumah kalau tidak salah namanya etta Pudding menunjukkan sesuatu kepada beliau. Sebuah kitab bersampul hijau, kalau saya tilik sampulnya itu dari kain, mungkin sampul aslinya sudah rusak.


 "Ini asli tulisan lontara." ujar sang tuan rumah memperlihatkan kitab itu.


Saya pun langsung antusias, terbesit rasa ingin memegang dan melihatnya. Namun saya segan dan malu tentunya. Seperti biasa jika menemukan hal baru jiwa kekepoan saya bergejolak. Saya harus melihat dan memegangnya langsung. Kalau tidak saya akan menyesal seumur hidup. Hehehhe hiperbola banget. Ya, kesempatan tak akan datang dua kali, bukan? Nah, saya tidak akan melewatkan kesempatan itu. 


Tak lama berselang kami dipersilahkan menikmati jamuan makan malam yang menggugah selera.


Usai makan, saya langsung mendekati sang tuan rumah dan meminta izin melihat kitab itu. Sungguh tak saya duga beliau dengan senang hati memperlihatkannya dan ibu dari tuan rumah yang usianya mungkin sepantaran indo mendekati saya.

"Tau baca?"

"Tidak. Saya pernah belajar huruf-huruf (alfabet) lontara, tapi belum begitu bisa membaca. Saya juga punya satu di rumah."

Ya, saya punya satu di rumah, tetapi itu kitab dari Soppeng punya ambo alias bapak saya. Ambo pernah mau memberikan ke orang, tetapi saya tidak mau memberikannya. Itu aset loh dan sangat berharga bagi saya, apa lagi itu bukan hanya sebuah kitab biasa, itu adalah tafsir Al-Quran tetapi dalam bahasa Bugis.

Karena saya belum bisa membacanya dan kalau pun saya bisa, tak akan cukup memahaminya dalam waktu sesingkat itu. Lagi jiwa kekepoan saya memaksa untuk bertanya.

"Ini isinya tentang apa?"

"Tentang keadilan, kejujuran, kebenaran."

"Oh, berarti mengenai hukum, ya Bu?"

"Iya. Di lemari itu ada beberapa barang peninggalan raja."

Mata saya langsung tertuju ke sebuah lemari. Benar saja di sana ada beberapa barang klasik, seperti gelas, piring, teko, dan masih banyak lagi.

" Boleh saya lihat dan ambil gambar?"

"Boleh."

Beliau mempersilahkan saya melihat isi lemari itu dan mengambil gambar. Pastinya saya sangat senang. 


Setelah saya kembali ke tempat duduk, beliau menunjukkan lagi sebuah benda di atas meja yang berada di depan pak bupati. Itu adalah sebuah piring Besar berwarna putih pudar, mungkin karena dimakan usia.

"Aga asenna ero?"

"Penne sima' berisi 12 nama malaikat."

"12 belas malaikat? Emang malaikat ada berapa? Emm setahuku kalau dalam Al-Quran malaikat cuman 10 deh." gumamku dalam hati. 

Sima' itu dalam bahasa Bugis adalah jimat dan memang piring itu adalah piring jimat kerajaan Bugis Barru. 

"Itu bagus kalau di simpan di HP. Bisa dijadikan jimat."

Wadduh, berhubung saya tidak percaya dengan jimat. Saya meng-oh saja. 

"Boleh ambil fotonya."

"Matuppi, engaka mopi etta." 

Saya tidak enak dong majulu'-julu' alias nyelonong ke depan bapak bupati, tidak sopan banget.

"Tidak apa. Nanti saya temani." 

Beliau langsung berdiri mengantar saya. Semua mata tertuju ke arah kami berdua termasuk ibu dan pak bupati, mungkin beliau berpikir, mau ngapain ini anak satu? Hahahah... Ah, biarlah mereka dengan pikiran masing-masing yang penting dapat ilmu dan bisa menghilangkan rasa penasaran saya.

"Magai?" tanya pak bupati.

"Melo mitai iye pennewe, mau liat ini piring."

Saya pun membidikkan kamera HP saya. Lalu kembali ke tempat duduk. Lagi saya masih menggali informasi mengenai kerajaan Bugis Barru.



"Piring itu usianya sudah berapa tahun?"

"Saya tidak tahu. Tapi sudah ada sejak zaman Belanda."

Seketika saya berdecak kagum.

"Di atas masih ada beberapa peninggalan kerajaan, cuman tidak terawat lagi dan sudah banyak yang pecah," imbuh salah seorang ibu yang juga dari keluarga itu.

"Wah, bagus dimusiumkan itu," ujar saya.

"Iya."

Sementara asik bercakap-cakap, handphone saya berdering. Itu telepon dari kak Saleh, kakak saya. Ternyata sudah mau berangkat lebih dulu, alias memisahkan diri dari rombongan.

Saya pun pamit kepada tuan rumah, ibu dan pak bupati beserta rombongan sembari mengucapkan terima kasih.


Sungguh saya sangat senang dan bersyukur bisa mendapatkan sesuatu yang sangat berharga di kampung halaman ibu saya.


Barru, 5 Maret 2020.

Cantik Itu Perlu, Tapi Sehat Itu Penting dengan Glazed Skin B Erl

    Siapa sih yang tidak  menginginkan kulit cantik? Tentu saja, semua orang menginginkan kulit cantik, baik itu laki-laki maupun perempuan,...