Jumat, 04 Maret 2022

Jejak Sejarah di Kota Berru

Jejak Sejarah di Kota Berru

Oleh: Marhani Kani


Kembali rombongan kami bertandang ke kota Berru atau Barru, kampung halaman ibu saya. Malam sebelumnya juga kami ke Barru tepatnya di Palandro dan kali ini kami di Mattoanging.

Kali ini kami mengunjungi rumah keturunan raja Barru, rumah keluarga bapak bupati Tolitoli Amran H. Yahya. Kedatangan rombongan kami disambut hangat oleh tuan rumah.


Rumah panggung bergaya khas Bugis itu tampak indah, di anak tangganya dijejer beberapa pot tanaman hias yang beraneka ragam menambah keindahan rumah itu. Saat masuk di rumah, di dalam rupanya sudah tersedia hidangan makan malam dan beberapa bosara' yang berisi kue khas Bugis, ada burongko, kue sikaporo', saya tak tahu apa lagi.


Setelah bapak bupati duduk, tuan rumah kalau tidak salah namanya etta Pudding menunjukkan sesuatu kepada beliau. Sebuah kitab bersampul hijau, kalau saya tilik sampulnya itu dari kain, mungkin sampul aslinya sudah rusak.


 "Ini asli tulisan lontara." ujar sang tuan rumah memperlihatkan kitab itu.


Saya pun langsung antusias, terbesit rasa ingin memegang dan melihatnya. Namun saya segan dan malu tentunya. Seperti biasa jika menemukan hal baru jiwa kekepoan saya bergejolak. Saya harus melihat dan memegangnya langsung. Kalau tidak saya akan menyesal seumur hidup. Hehehhe hiperbola banget. Ya, kesempatan tak akan datang dua kali, bukan? Nah, saya tidak akan melewatkan kesempatan itu. 


Tak lama berselang kami dipersilahkan menikmati jamuan makan malam yang menggugah selera.


Usai makan, saya langsung mendekati sang tuan rumah dan meminta izin melihat kitab itu. Sungguh tak saya duga beliau dengan senang hati memperlihatkannya dan ibu dari tuan rumah yang usianya mungkin sepantaran indo mendekati saya.

"Tau baca?"

"Tidak. Saya pernah belajar huruf-huruf (alfabet) lontara, tapi belum begitu bisa membaca. Saya juga punya satu di rumah."

Ya, saya punya satu di rumah, tetapi itu kitab dari Soppeng punya ambo alias bapak saya. Ambo pernah mau memberikan ke orang, tetapi saya tidak mau memberikannya. Itu aset loh dan sangat berharga bagi saya, apa lagi itu bukan hanya sebuah kitab biasa, itu adalah tafsir Al-Quran tetapi dalam bahasa Bugis.

Karena saya belum bisa membacanya dan kalau pun saya bisa, tak akan cukup memahaminya dalam waktu sesingkat itu. Lagi jiwa kekepoan saya memaksa untuk bertanya.

"Ini isinya tentang apa?"

"Tentang keadilan, kejujuran, kebenaran."

"Oh, berarti mengenai hukum, ya Bu?"

"Iya. Di lemari itu ada beberapa barang peninggalan raja."

Mata saya langsung tertuju ke sebuah lemari. Benar saja di sana ada beberapa barang klasik, seperti gelas, piring, teko, dan masih banyak lagi.

" Boleh saya lihat dan ambil gambar?"

"Boleh."

Beliau mempersilahkan saya melihat isi lemari itu dan mengambil gambar. Pastinya saya sangat senang. 


Setelah saya kembali ke tempat duduk, beliau menunjukkan lagi sebuah benda di atas meja yang berada di depan pak bupati. Itu adalah sebuah piring Besar berwarna putih pudar, mungkin karena dimakan usia.

"Aga asenna ero?"

"Penne sima' berisi 12 nama malaikat."

"12 belas malaikat? Emang malaikat ada berapa? Emm setahuku kalau dalam Al-Quran malaikat cuman 10 deh." gumamku dalam hati. 

Sima' itu dalam bahasa Bugis adalah jimat dan memang piring itu adalah piring jimat kerajaan Bugis Barru. 

"Itu bagus kalau di simpan di HP. Bisa dijadikan jimat."

Wadduh, berhubung saya tidak percaya dengan jimat. Saya meng-oh saja. 

"Boleh ambil fotonya."

"Matuppi, engaka mopi etta." 

Saya tidak enak dong majulu'-julu' alias nyelonong ke depan bapak bupati, tidak sopan banget.

"Tidak apa. Nanti saya temani." 

Beliau langsung berdiri mengantar saya. Semua mata tertuju ke arah kami berdua termasuk ibu dan pak bupati, mungkin beliau berpikir, mau ngapain ini anak satu? Hahahah... Ah, biarlah mereka dengan pikiran masing-masing yang penting dapat ilmu dan bisa menghilangkan rasa penasaran saya.

"Magai?" tanya pak bupati.

"Melo mitai iye pennewe, mau liat ini piring."

Saya pun membidikkan kamera HP saya. Lalu kembali ke tempat duduk. Lagi saya masih menggali informasi mengenai kerajaan Bugis Barru.



"Piring itu usianya sudah berapa tahun?"

"Saya tidak tahu. Tapi sudah ada sejak zaman Belanda."

Seketika saya berdecak kagum.

"Di atas masih ada beberapa peninggalan kerajaan, cuman tidak terawat lagi dan sudah banyak yang pecah," imbuh salah seorang ibu yang juga dari keluarga itu.

"Wah, bagus dimusiumkan itu," ujar saya.

"Iya."

Sementara asik bercakap-cakap, handphone saya berdering. Itu telepon dari kak Saleh, kakak saya. Ternyata sudah mau berangkat lebih dulu, alias memisahkan diri dari rombongan.

Saya pun pamit kepada tuan rumah, ibu dan pak bupati beserta rombongan sembari mengucapkan terima kasih.


Sungguh saya sangat senang dan bersyukur bisa mendapatkan sesuatu yang sangat berharga di kampung halaman ibu saya.


Barru, 5 Maret 2020.

17 komentar:

  1. Kerren bingit Kak. Sukses selalu. Jadi tahu lbh detail peninggalan raja di sana

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah dpt bnyk pengalaman de jalan2.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah. Ini perjalanan yang luar biasa.

      Hapus
  3. semoga omjay bisa berkunjung ke sana, aamiin.

    BalasHapus
  4. Mauka juga jalan jalan ke palandro,

    BalasHapus
    Balasan
    1. Boleh itu, Pak. Ini tempatnya di Mattoanging, Pak.

      Hapus
  5. Masyaa Allah, peninggalan sejarah yg perlu kita ketahui.. Menambah wawasan

    BalasHapus
  6. Masya Allah ... terima kasih kak untuk cerita yang menginspirasi.

    BalasHapus

Cantik Itu Perlu, Tapi Sehat Itu Penting dengan Glazed Skin B Erl

    Siapa sih yang tidak  menginginkan kulit cantik? Tentu saja, semua orang menginginkan kulit cantik, baik itu laki-laki maupun perempuan,...